Setiap kali melewati perempatan lampu merah dan melihat gepeng (gelandangan dan pengemis) aku selalu teringat sebuah moment ketika aku dan seorang teman berjalan di jembatan penyebrangan di dekat terminal Baranangsiang sepulang dari Kebun Raya Bogor pada sebuah sore yang teduh dan sejuk. Ketika melewati jajaran pengemis menuju jembatan penyebrangan dia merogoh sakunya dan memberikan uang kepada beberapa pengemis yang kami lewati, beberapa saat kemudian dia menyikut (atau mencubit?lupa...) sambil berkata; ”cantik-cantik koq pelit sih”. Shock juga sih dikatain pelit.....
Tentunya hak temanku untuk menilai aku pelit, tapi aku juga punya sikap yang harusnya juga dihargai dalam menghadapi fenomena sosial yang satu ini. Pastinya semua orang juga punya pendapat dan sikap yang berbeda-beda. Kita mungkin masih ingat wacana (atau rancangan Perda?) yang melarang untuk memberikan uang kepada pengemis di jalan-jalan, tentu saja wacana (atau rancangan Perda?) itu menimbulkan pro dan kontra. Aku sendiri termasuk yang pro pada wacana tersebut.
Banyak alasan yang mendasari keberpihakanku pada wacana (atau rancangan Perda?) tersebut. Pertama; meminta-minta adalah perilaku yang mencerminkan rendahnya harga diri seseorang. Bayangkan saja jika banyak warga negara kita yang mentalitasnya seperti itu padahal mereka masih bisa dan sanggup bekerja. Kedua; lebih baik memberikan kail daripada memberikan ikan, ketika kita memberi uang kepada pengemis di jalan-jalan maka sesungguhnya kita tengah menjerumuskan mereka pada sesuatu yang bernama kebergantungan kepada orang lain. Menjauhkan mereka dari kemandirian dan ketelatenan dalam berusaha. Ketiga; banyak di antara para pengemis itu ternyata orang yang berkecukupan, bukan orang yang kepepet udah ga bisa kerja lagi. Di kampungnya mereka punya rumah pribadi yang sangat layak huni, ada parabolanya pula...menggunakan perhiasan emas dan lain sebagainya. Jadi aku tidak ingin mengeluarkan uang sesen untuk orang yang salah atau setidak-tidaknya kurang tepat.
Memang mereka sendiri yang bertanggungjawab kepada Allah jika mereka melakukan kebohongan, tapi kita turut andil dalam membentuk mentalitas warga masyarakat yang tidak mandiri dengan memberi ikan bukannya kail. Rasanya akan lebih bermanfaat jika rupiah demi rupiah yang ingin kita berikan pada orang-orang yang membutuhkan itu dikelola oleh lembaga zakat atau apalah bentuk dan namanya agar lebih terorganisir dan penyalurannya lebih bermanfaat jika berbentuk modal usaha dengan bimbingan dan pemantauan yang baik sehingga mereka yang ingin kita bantu ini bisa lebih berdaya. Bukankah kebaikan yang terorganisir itu lebih baik daripada yang tidak? Dan bukankah dalam Islam juga diajarkan untuk memberi kail, bukan ikan?
”mengenang seorang teman yg mgkn udah lupa peristiwa ini"
Jumat, 13 Februari 2009
Cantik Tapi Koq Pelit
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar