Suatu hari aku terpaksa membayar tagihan telfon ku ke kantor pos besar, siang hari bolong dan belum makan siang. Di depanku ada dua orang yang mengantri, pas tiba giliranku tiba-tiba ada bapak berseragam dinas kesehatan yang nyerobot antrianku. Pastinya ga rela dunk klu hak aku dirampas gitu aja, jadi spontan aku nyeplos; ”maaf Pak, kaya’nya saya duluan deh yang antri” dengan nada yang kubuat sesopan mungkin meski dongkol luar binasa eh,luar biasa...hehe... Bukannya minta maaf, tuh bapak malah cuek aja dan langsung menyebutkan nomer telfonnya ke petugas kantor pos. Apa hendak dikata, petugasnya juga bukan belain aku eh....malah langsung melayani tuh bapak berseragam. Nyebelin banget kan? Seorang teman juga pernah bercerita penngalamannya ketika antri si sebuah restoran ternama, padahal waktu itu antrian begitu panjang tiba-tiba ada seorang pelanggan yang baru datang (berseragam polisi lengkap, entah apa pangkatnya), langsung pesan bebek panggang dan si pelayan restoran langsung memberikan apa yang dipesan.
Tapi aku bukan pengen curhat tentang rasa kesal yang aku rasain coz didzolimin, dianiaya... Coba kita cermati sikap bapak berseragam tadi dan petugas kantor pos. Ketika hak kita dirampas oleh orang lain, hampir bisa dipastikan kita akan protes agar kita bisa mendapatkan apa yang menjadi hak kita. Tapi ketika kita ada di posisi petugas kantor pos atau bapak berseragam itu, apa kita akan tetap berupaya untuk mengembalikan hak orang lain?
Jadi inget pas lagi beli sarapan tadi pagi, ketika aku sampai di warung langgananku, udah ada seorang remaja dan dua anak kecil yang antri duluan dan karena kakak pemilik warung lagi beli kertas makanan akhirnya kami menunggu cukup lama. Dan dua anak kecil tadi di minta oleh si remaja tadi untuk memanggilkan si kakak. Dua anak tadi pun pergi memanggil si penjual dan taukah kalian siapa yang lebih dulu dilayani? Bukan...bukan dua kakak beradik yang sudah antri lebih dulu, bukan anak kecil yang udah manggilin si kakak agar pelanggannya ga kabur. Apa karena mereka anak kecil sehingga orang dewasa punya hak yang lebih besar dibandingkan seorang anak kecil? Satu kali hak mereka dirampas hari ini.
Ketika tiba giliran mereka, eh....si kakak malah bertanya padakku, ”mbak mau beli apa?”. aku ga mau dunk merampas hak orang lain, anak kecil lagi.... jadi aku tolak dengan halus kebaikan si kakak, sekaligus mengadvokasi si kakak untuk lebih menghargai hak orang lain meskipun anak kecil. ”Yang duluan ngantri kan adek-adek ini kak, ambilin punya mereka aja dulu”. ”ga papa koq, mereka keponakan kakak”, nah loh apa hubungannya gumamku dalam hati? Setengah mendesak aku meminta agar anak kecil itu didahulukan tapi tetap saja yang dilayani lebih dulu. Kali kedua hak anak-anak itu dirampas hari ini.
Begitu banyak potret perampasan hak di negeri kita ini, kawan... Mungkin itu terjadi karena contoh yang diberikan oleh para pemimpin negeri ini. Orang tua yang seharusnya jadi panutan malah memberikan pelajaran yang buruk pada orang yang lebih muda, terlebih lagi beliau orang ”berseragam” yang bisa dikategorikan orang yang berpendidikan tapi malah ga punya attitude. Sedangkan petugas kantor pos yang sebenarnya punya wewenang mengembalikan yang seharusnya menjadi hak pelanggan yang lain malah melakukan justifikasi perampasan hak yang terjadi di depannya. Pemimpin yang harusnya jadi kebanggaan rakyatnya malah memberikan kontribusi negatif bagi generasi penerus bangsa. Perampasan hak yang merupakan kejahatan lama kelamaan menjadi pemandangan sehari-hari dan terjadi di semua kalangan, akhirnya menjadi suatu hal yang biasa dan bisa dimaklumi. Dapat dipastikan yang lebih lemah pasti menjadi korban. Sekarang tinggal kita yang memilih, akan ikut dalam arus yang ada atau mencoba bersikap adil sekecil apapun peran kita? Perubahan itu ada di tangan kita; kamu dan aku, kawan.....